Bapak tua itu setiap hari berpakaian rapih lengkap dengan senyum yang mengembang diwajahnya.
Sembari berdiri menjaga lapak kecilnya dia menyapa semua yang lewat, termasuk aku.
Aku tidak banyak tahu tentangnya, bahkan namanya pun aku tak tahu.
Hanya satu yang aku tahu pasti,
Lapak reparasi jam miliknya itu, jelas tidak lebih besar dari semangatnya untuk bertahan di Ibukota ini.
Bapak reparasi jam itu sering terlihat di trotoar pejalan kaki didepan gedung kantorku,
Kecuali saat tiba waktu dhuha.
Aku tidak banyak tahu tentangnya,
Ntah bagaimana perjalanan hidupnya hingga ia bisa terdampar di rimba beton Jakarta,
Ntah seberapa berat bebannya,
Ntah apa alasan dia hingga masih bertahan hingga saat ini.
Tetapi mungkin,
Mungkin saja, ia mendapatkan ketenangan baru saat serentetan ayat-ayat baik itu mengalir bersama sisa tetes wudhu disela-sela helai rambut putihnya,
Atau mungkin saja, ia merasa dirinya kembali utuh saat lantunan-lantunan doa terpatri disela-sela guratan wajahnya.
Ntah apa isi doa panjang bapak tua reparasi jam itu, saat pagi hari ini kulihat ia bersimpuh sendirian di masjid yang lengang,
Saat tiba waktu dhuha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar