Ramadhan 2018, Sahur hari kedua.
Sudah menjadi tradisi dimana ibuk akan selalu masak sup saat salah satu diantara kami sedang tidak enak badan. Dan ibuk, ntah mengapa memutuskan masak sup untuk sahur hari kedua ini.
Diruang tengah sudah tersedia nasi, sup, tempe goreng, sambal kecap, kerupuk, lima buah piring dan satu buah mangkuk. Supnya sengaja aku diamkan dulu di mangkuk putih itu, terpisah dengan nasi. Ibuk hapal betul dua diantara segambreng kebiasaanku, tidak bisa makan panas dan tidak suka makan nasi dicampur satu dengan makanan berkuah banjir.
Agak berbeda, kali ini ibuk membuat sup bukan dengan ayam. Ibuk mengganti ayam dengan bakso. Siapa peduli? Toh tidak menghilangkan esensi ke-sup-an itu sama sekali. Kami tak ada yang protes, terus menyantap sampai tandas. Ah, nyaman sekali rasanya diperut.
Persis setelah makan, aku memutuskan untuk tidak langsung kekamar. Aku masih disana, diruang tengah. Menyaksikan kakak dan ayahku guyon perkara buka puasa perdana sore kemarin. Seperti tersadar, aku menoleh. Ternyata sedari tadi ibuk menatapku. Tak bertanya apapun, lalu tersenyum. Sepintas saja. Seakan mengerti segalanya. Padahal, tak pernah aku cerita apapun padanya betapa beberapa hari belakangan ini amat sangat menguras tenaga, pikiran dan hati. Tapi ia mengerti. Ia selalu mengerti.
Tidak dingin, tidak juga panas menyengat
Semangkuk sup hangat ini, menyembuhkan
Sepintas senyum hangat itu, menguatkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar